No Mudik, No Problem: Baju Lebaran

Tidak bisa mudik bukanlah alasan untuk tidak merayakan kemenangan. Kami di TREVO tidak akan lelah untuk mengingatkan kamu akan hal itu. Tetap memperpanjang semangat berbagi dari Ramadhan walau sudah lewat bulan suci. Makna Hari kemenangan juga merupakan sebagai pertanda buat kita bahwa ada suatu hal yang sudah tercapai; sebuah ujian yang lulus, sebuah perjuangan yang telah dimenangkan. Jikalau tidak bisa pulang pada lebaran ini, tetaplah gunakan Hari Kemenangan sebagai ‘gong’ penanda signifikansi – kamu telah berhasil melewati semuanya, di masa yang sulit ini. 

Lebaran pun masih bisa dirasakan, salah satunya dengan perjumpaan daring via ZOOM atau google meets dan discord. Dengan kamera bagus, kamu pun bisa memamerkan baju lebaran yang sudah kamu persiapkan jauh-jauh hari! Lalu, terselip rasa ingin tahu: sebenarnya dari kapan warga +62 berbondong-bondong ke toko untuk beli baju lebaran?

Kebiasaan Beli Baju Lebaran
Suasana Lebaran tempo dulu
foto: Facebook @ekoyunianto

Salah satu dokumentasi terawal warga +62 melakukan kegiatan belanja masif untuk Hari raya bisa dilacak dari catatan Snouck Hurgronje(1857-1936), seorang penasihat pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Dalam suratnya kepada Direktur Pemerintahan Dalam Negeri, 20 April 1904, yang termuat dalam Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889–1939 Jilid IV, ia menulis: “Di mana-mana perayaan pesta ini disertai hidangan makan khusus, saling bertandang yang dilakukan oleh kaum kerabat dan kenalan, pembelian pakaian baru, serta berbagai bentuk hiburan yang menggembirakan,”

Di Jakarta sendiri, pada zamannya warga biasa membeli bahan kain di pasar-pasar seperti Tanah Abang dan menjahitnya sendiri menjadi pakaian baru. Kalau sekarang kita melihat populernya kain kaftan, tempo dulu para kakek-nenek kita identik memakai kain baru yang dijahit menjadi kebaya.

Perayaan Lebaran Pada Masa Luar Biasa

Pandemi Covid-19 bukanlah yang pertama kita terbatas ruang geraknya untuk membeli baju lebaran dan merayakan Hari Kemenangan. Sempat stagnan kala wabah flu spanyol menyerang Hindia-Belanda dan pendudukan jepang, kegiatan ekonomi masyarakat terpaksa harus dibatasi karena penyakit dan ruang gerak masyarakat yang dikekang. “Produksi terus digenjot untuk memenuhi keperluan militer Jepang, bahan pangan di pasar banyak menghilang, rakyat digerakkan untuk kerja paksa, bahkan pakaian disita,” ungkap Thomas J. Lindblad, seorang ekonomis Belanda(Univ. Leiden)

Tren Baju Lebaran dari Masa ke Masa
Kemerdekaan – 70an
Foto: Pat Hendrato

Zaman kemerdekaan hingga dekade 70an, baju lebaran simple dan tradisional – mengikuti kemampuan ekonomi masyarakat yang baru saja merdeka dan beridentitas.

80an
Foto: Kompas

80an menandakan masa dimana masyarakat lebih berkreasi dan memodifikasi pakaian tradisional kebaya mereka dengan aksen-aksen lebih modern.

90an
Sumber: Ninuk Mardiana Pambudy

Dekade 90an adalah masa munculnya tren baju lebaran yang lebih Islami, sampai kini trennya masih terasa dengan modifikasi modern.

2000an – Masa Kini
Foto: Grid.id

Kemunculan model kaftan dan koko pria dengan motif di bagian dada.

Jadi, memang membeli baju baru saat Lebaran adalah tradisi warga +62 yang sudah ada sejak dahulu kala. Walaupun tidak bisa keluar Jabodetabek, jangan biarkan Hari Raya lepas begitu saja dan tamasya-lah dalam keadaan relatif aman dengan menyewa mobil pribadi – cek promo sewa mobil TREVO selama Lebaran dengan klik tautan ini!

———–

Sumber-sumber yang dipakai saat penulisan artikel ini bisa diakses di:
Kompas.com
Historia.id
Tirto.id
Grid.id

Recommended Articles